Cerahnya sang mentari menghangatkan seluruh penghuni bumi, saat kedua kelopak mata gadis manis berusia sebelas tahun bernama Lila terbuka perlahan menyambut pagi, kemudian berjalanlah dia menuju sumur tua di Samping rumah sederhana milik kakek dan neneknya yang telah mengurusnya sejak kecil. Diambilnya air wudhlu yang masih terasa dingin membasuh bagian wajib wudhlu di Badan kecilnya. Kemudian dia lanjutkan dengan melaksanakan kewajiban seorang muslim dengan sembahyang sholat subuh di Bagian pojok ruang tengah rumah kakek dan neneknya. sementara itu, kesibukan telah nampak di Dapur sederhana milik Nenek berusia Lima puluh tujuh tahun itu. Perabot sederhana seperti tungku batu,kayu bakar,lesung tua,dan berbagai alat memasak lain yang tersusun rapi di Rak usang yang telah dengan setia menemani Nenek Lila mempersiapkan makanan untuk keluarga kecil itu.
Matahari telah meninggi di Sebelah Timur dan jam dinding kamar Lila telah menunjukkan pukul 06.30 .Lila bersiap pergi ke Sekolah. Ditemani sepeda mini yang dibelikan oleh ayahnya ia telusuri jalan menuju sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah. Saat itu Lila masih duduk di Bangku kelas enam SD. Seperti anak usia sebelas tahun lainnya, Lila masih senang bermain dan bercanda dengan teman sebayanya. Lila termasuk anak yang cerdas di Sekolah, walaupun demikian Lila tidak sungkan untuk membagikan ilmunya dengan teman-teman yang merasa kesulitan memahami mata pelajaran di Sekolah. Teman-teman Lila juga sangat menyukainya karena sifat ramah, humoris, walaupun terkadang ia sering berperilaku jail. Bel tanda jam pelajaran sekolah telah berbunyi, anak-anak memasuki ruang kelas dengan tertib. Berdoa yang merupakan kegiatan pertama telah dilakukan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pelajaran seperti umumnya di Sekolah-sekolah.
“Selamat Pagi anak-anak...” sapa Ibu Guru.
“Selamat Pagi bu....” jawab murid-murid dengan serempak.
“Baiklah, kita mulai pelajaran kita pada pagi hari ini.....” lanjut Ibu Guru.
Pelajaran masih berlangsung sampai pukul 12.00 siang tiba dan bel tanda usai sekolah berbunyi. Lila berlari menuju tempat parkir sepeda kesayangannya dan mengendarai sepeda itu pulang ke Rumah.
Seperti hari-hari biasa, Lila masih sama seperti dengan anak usia sebelas tahun pada umumnya. Bermain dan belajar bersama teman-teman sebaya. Tetapi di Rumah yang dihuni oleh Kakek, Nenek, Eyang buyut, dan Lila sendiri ini, Dia merasa sangat sendiri karena jauhnya orangtua yang berada di Perantauan mencari nafkah untuk kehidupan mereka. Hal ini tidak membuat Lila patah semangat, Dia sangat dekat dengan eyang buyutnya. Hampir semua hal mereka lakukan bersama, dari eyang yang menemaninya belajar, bermain, makan, bercerita dsb.
Di Suatu pagi yang bertepat di Hari minggu saat semua anak sekolah libur, Eyang buyut dan Lila duduk bersama di Teras rumah, dengan ditemani secangkir teh dan beberapa potong kue yang disajikan di Atas piring putih bermotif bunga mereka bercengkrama dengan penuh kehangatan kasih sayang sehangat secangkir teh yang ada di Meja kecil teras rumah itu.
“ Eyang...Apakah semua orang akan mengalami masa dewasa seperti ayah dan bunda ?” Tanya Gadis kecil itu dengan penasaran.
“ Tentu saja, Kecuali orang yang telah dipanggil oleh sang Pencipta sehingga mereka tidak dapat merasakan masa itu.“ Jawab Eyang dengan penuh perhatian.
“ Tapi, Eyang akan terus menemani Lila sampai kapanpun kan ?“ Balas Lila.
“ Tidak selamanya Lila, Eyang sudah tua, nantinya Eyang akan kembali kepada-NYA. Kamu tidak boleh bersedih tetapi harus selalu berusaha menjadi orang yang berguna baik untuk dirimu, orang-orang yang kamu sayangi bahkan orang lain di Sekitarmu.“ Jelas Eyang.
“ Lila harus jadi apa Eyang ? Lila mau jadi orang yang seperti Eyang Katakan tetapi Lila tidak tahu harus bagaimana.” Tanya Lila Lagi.
“ Dengarlah kata hatimu nak, yakinlah bahwa Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik untukmu. Eyang hanya dapat mendampingi langkah kakimu dengan doa yang selalu Eyang panjatkan pada yang Kuasa.” Jawab Eyang.
“ Terima kasih Eyang, Lila sayang Eyang......” balas Lila sambil memeluk Eyang buyutnya yang telah berusia Delapan puluh tujuh tahun itu.
Percakapan mereka berakhir saat teman-teman Lila datang ke Rumah dan mengajak Lila bermain bersama.
Tidak terasa telah lama mereka berbincang di Teras itu, Eyang buyut berjalan menuju ke Dalam rumah sementara Lila pergi bermain. Eyang yang memang sudah lanjut usia itu ternyata sedang sakit tetapi ia tidak ingin Lila mengetahui perihal sakit yang ia derita. Bahkan, Anaknya saja yang merupakan Kakek Lila sendiri ia larang untuk memberitahukan sakit yang ia derita kepada Lila. Eyang buyut memang sangat menyayangi Lila, ia tidak ingin cucunya ini bersedih sedikitpun karena dari kecil Lila memang telah ditinggalkan oleh kedua Orangtuanya pergi merantau ke Ibukota untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidup mereka. Usia Lila semakin bertambah namun Eyang merasa sangat pesimis dapat melihat pertumbuhan Lila karena ajal dapat menjemputnya kapan saja Tuhan menghendaki.
Sore telah menjelang, tetapi Lila tidak kunjung pulang ke Rumah. Eyang yang terbaring di Ranjang usangnya terus saja memikirkan Lila. Namun, tidak berapa lama berselang Lila telah kembali ke Rumah. Mengetahui bahwa Lila baru tiba di Rumah saat hari hampir gelap, kemudian Eyang menghampiri dan menasehatinya.
“ Lila.....kemana saja kamu tadi nak ?” Tanya Eyang dengan sabar.
“ Sudah pasti dia bermain dengan teman-temannya di Ujung Jalan sana, Kenapa kau pulang ? tidak menginap saja disana !” sela kakek dengan nada tinggi.
Mendengar kata-kata Kakek, Lila hanya tertunduk diam dan menangis. Eyang terus berusaha menenangkan dan membujuk Lila agar mau berbicara dan menjelaskan kelakuannya hari ini, sampai-sampai pulang terlambat.
“ Sudah...sudah.. kau hanya membuatnya takut dan tidak mau berbicara !” Kata Eyang kepada Kakek.
“ Biar Eyang, biar anak ini tahu kesalahannya. Kerjanya Cuma main saja, tidakkah kau belajar !” Bantah Kakek.
“ Tidak begitu caramu menasehati, biarkan aku saja yang memberitahunya.” Kata Eyang.
Lila berlari ke Kamarnya, ia menangis disana. Eyang masuk ke Kamar Lila membawa secangkir teh untuk Gadis kecil itu. Lila masih menangis dengan wajah yang ia sembunyikan di Bawah bantalnya ketika Eyang membuka pintu kamar dengan perlahan.
“ Lila......bangun sini nak, Eyang membawa sesuatu untukmu.” Pinta Eyang sambil mengangkat bantal di Wajah Lila.
“ Maafkan Lila..Eyang..?” Sahut Lila dengan menangis.
“ Tidak apa-apa nak, bangun dan bicara dengan Eyang sebentar, mau?” Tanya Eyang dengan lembut.
Lila terbangun dari ranjangnya dan duduk bersama Eyang buyut yang membawakan secangkir teh hangat. Eyang memberikan secangkir teh itu dan menasehati Lila dengan Lembut. Mereka duduk di Atas ranjang Lila dan mulai berbincang.
“ Lila, kamu tahu kenapa Eyang menyukai secangkir teh ini ?” Tanya Eyang.
“ Tidak Eyang, memangnya kenapa? Ada apa dengan secangkir teh ini ?” Balas Lila.
“ Dengar nak, secangkir teh ini tenang, artinya ia memberikan ketenangan untuk fikiran kita. Kamu harus bisa jadi orang yang menjaga ketenangan, baik dirimu sendiri juga oranglain. Teh juga bermanfaat dalam bidang kesehatan, sebagai antioksidan, menjaga kesehatan jantung, mengurangi kolesterol dsb. Jadilah orang yang seperti teh ini sayang, dapat berguna bagi orang sekelilingmu karena nantinya mereka akan selalu menolongmu dalam gundahmu.” Nasehat Eyang yang terucap dengan diiringi senyum penuh kasih sayang dari wajah keriputnya.
“ Eyang, bolehkah Lila jadi Dokter suatu hari nanti ?” tanya Lila mengakhiri tangisnya.
“ Kenap Dokter sayang ?” tanya Eyang.
“ Karena Lila ingin seperti secangkir teh ini yang memberi bermacam manfaat untuk setiap orang di Sekitarnya. Lila juga ingin merawat Eyang nantinya.” Jawab Lila.
“ Eyang akan sangat bahagia, jika cita-citamu itu dapat terwujud dan kamu hidup bahagia nak, karena bahagiamu adalah bahagia Eyang juga.” Kata Eyang dengan bijaksananya.
Hangatnya pembicaraan mereka terpaksa harus disudahi karena hari telah larut, sedangkan besok Lila sudah harus kembali bersekolah. Eyang meninggalkan kamar Lila membawa cangkir kosong yang tadi berisi teh hangat untuk cucu kesayangannya itu. Ia berjalan keluar, mematikan lampu dan menutup pintu kamar itu.
Pagi telah menyapa, tetapi Lila terlambat bangun. Gadis itu mengayuh sepedanya sekuat mungkin, kemudian berlari tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia sampai di Kelas bertepatan dengan bel tanda masuk kelas dibunyikan. Kemudian pelajaran berlangsung seperti biasanya walaupun di Hati Lila ada sebuah perasaan mengganjal yang sulit ia hapuskan dan membuatnya ingin segera bertemu dengan Eyangnya.
Terdengar suara langkah kaki menuju ruang kelas Lila saat pelajaran masih berlangsung. Seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam menghampiri Ibu Guru dan berbisik kepadanya. Semua pandangan siswa tertuju kepada mereka. Saat Ibu Guru menghampiri Lila dan membawanya keluar kelas, ia sampaikan kabar duka itu pada Lila. Kabar duka bahwa Eyang yang sangat dicintainya telah berpulang pada yang Kuasa. Tanpa berfikir panjang Lila berlari pulang ke Rumah, ia dapati tubuh pucat yang telah terbaring kaku di Hadapannya. Lila tejatuh lemas dan menangis, tidak kuasa membendung air mata. Tidak pernah terfikir di Benaknya bahwa Eyang akan pergi untuk selamanya, padahal semalam mereka berbincang bersama tetapi sekarang tangis membanjiri wajah gadis kecil ini.
Pemakaman telah dilangsungkan, Lila masih duduk di Dekat makam Eyang kesayangannya. Ia mengumpulkan kekuatannya untuk menerima kenyataan bahwa orang terdekatnya telah dipanggil oleh Tuhan. Tangis masih mengiringi doa yang ia panjatkan untuk beliau yang telah pergi sampai Lila sanggup meninggalkan makam itu.
Hari pertama setelah kepergian Eyang, Lila duduk sendiri di Teras, tempat dimana ia sering bercengkrama dengan Eyang ditemani secangkir teh hangat seperti saat-saat bersama Eyang. Lila memang belum masuk sekolah karena masih terpukul dengan kepergian Eyang. Namun ia mencoba menenangkan dirinya seperti nasehat Eyang, walau terkadang airmatanya masih jatuh menetes. Lila yakin bahwa Eyang masih berada sangat dekat dengannya, bahwa Eyang masih mengawasinya di Atas sana. Ia berusaha dan terus berusaha bangkit, Orangtuanya datang ke Desa untuk menghiburnya, tetapi karena terbiasa dengan Eyang jadi hal itu tidak begitu berpengaruh padanya.
Waktu tidak dapat dihentikan, Hari terus berganti. Lila tidak ingin Eyang melihatnya terus terpuruk dalam sedih kehilangan. Lila kembali ke Sekolah, belajar dan bermain walau belum seceria dulu. Lila masih menyimpan duka yang mendalam, tapi ia ingin buktika bahwa ia mampu lalui semuanya. Keseriusannya untuk membahagiakan orang-orang tersayang terus mendorongnya untuk terus belajar dan menuntut ilmu agar dapat meraih cita-citanya. Lila menjadi kebanggaan di Keluarganya. Ia tumbuh menjadi gadis cantik, pintar dan mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi seorang Doker. Dukungan dari keluarga juga terus memotivasi Lila untuk meneruskan amanat yang tercipta dari perbincangan secangkir teh dengan Eyang yang sangat ia sayangi dan rindukan.
Sepuluh tahun telah berlalu, Lila akan segera menjadi seorang sarjana Kedokteran berkat keuletan dan kesungguhannya membahagiakan orang-orang tersayangnya terutama Eyang buyut yang telah meninggalkannya. Seluruh kesuksesan yang telah ia raih sampai saat ini ia dedikasikan untuk Eyangnya. Lila tidak ingin menghapus sedikitpun kenangan tentang Eyang dan secangkir teh yang sampai sekarang masih menjadi hal yang paling ia sukai setelah Eyang pergi.
Kini, Lila menjadi seorang Dokter umum di Salah satu Rumah Sakit besar di Daerahnya. Ia juga tidak sungkan menolong siapapun yang membutuhkannya baik yang datang ke Rumahnya maupun ia sendiri yang harus datang ke Rumah pasien tersebut. Lila juga telah menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi sebagai seorang Polisi. Mereka dikaruniai seorang putra dan hidup bahagia dengan secangkir teh yang selalu menyapa mereka setiap pagi tiba. Ia juga menurunkan amanat Eyang yang selalu terkenang dalam hati dan fikirannya pada putra semata wayangnya, tentang makna hidup yang diajarkan oleh ketenangan teh beserta manfaatnya yang berarti manusia harus dapat bermanfaat untuk sesama disertai dengan sebuah keikhlasan dan keoptimisan untuk berusaha.
~ SELESAI ~